Senin, Maret 31, 2008

Cerita Tentang Konflik Turunan Raja Marsundung Simanjuntak

Raja Marsundung Simanjuntak adalah salah satu cucu dari Sibagot Ni Pohan, Sibagot Ni Pohan ini mempunyai empat orang anak:
1. Tuan Sihubil.
2. Tuan Somanimbil.
3. Tuan Dibangarna.
4. Raja Sonakmalela.

Tuan Somanimbil mempunyai tiga orang anak, yaitu:
1. Somba Debata (Siahaan).
2. Raja Marsundung (Simanjuntak).
3. Tuan Maruji (Hutagaol).

Raja Marsundung mempunyai istri pertama yang bernama Taripar Laut boru Hasibuan. Dari isteri pertama ini Raja Marsundung mendapatkan satu orang anak yaitu Raja Parsuratan.
Beberapa tahun setelah Taripar Laut boru Hasibuan meninggal, Raja Marsundung mengambil isteri dari negeri Sihotang (dekat Pangururan Samosir) yang bernama Sobosihon boru Sihotang. Dengan demikian sejak itu Si Raja Parsuratan memiliki ibu tiri (panoroni). Dari isteri yang kedua ini lahirlah Raja Mardaup, Raja Sitombuk, Raja Hutabulu dan dua orang anak perempuan. Salah satu dari dua anak perempuan Raja Marsundung kemudian kawin dengan marga Sirait.
Rupanya hubungan antara Raja Parsuratan dan ibu tirinya Sobosihon boru Sihotang kurang harmonis. Hal ini dapat dimaklumi karena di orang Batak, antara anak tiri dengan ibu tirinya sering tidak ada kecocokan/kerukunan, juga karena si Bapak selalu lebih memihak kepada isteri keduanya. Karena kondisi yang tidak menyenangkan ini, Raja Parsuratan meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke kampung Tulangnya di Sigaol, desa Marga Hasibuan.
Menurut cerita orang-orang tua, Raja Parsuratan cukup lama tinggal di Sigaol, bahkan sampai-sampai orang di sana mengira dia bermarga Hasibuan. Kemudian Raja Parsuratan mengawini boru tulangnya yakni Boru Hasibuan. Beberapa lama kemudian Raja Parsuratan mendengar berita bahwa bapaknya, Raja Marsundung telah meninggal dunia. Raja Parsuratan kemudian kembali pulang ke kampung halamannya di Parsuratan, Paindoan Balige. Di Balige inilah kemudian Raja Parsuratan menetap dan hidup berdekatan dengan ibu tirinya, Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya yaitu Raja Mardaup, Raja Sitombuk dan Raja Hutabulu serta dua orang anak perempuan.
Salah satu keturunan Raja Marsundung dari isterinya Sobosihon boru Sihotang, yaitu anak yang tertua (anak perempuan) sangat dekat dengan ibunya. Sebagai anak yang tertua, maka dialah yang selalu gigih membantu ibunya sementara adik-adiknya masih kecil-kecil.
Karena Raja Parsuratan magodang (artinya besar) di kampung tulangnya, maka dia tidak memiliki hubungan yang dekat dengan bapaknya, sehingga setelah meninggal, tidak ada pesan dari Raja Marsundung kepada Raja Parsuratan terutama mengenai harta yang ditinggalkan. Raja Parsuratan menganggap bahwa harta yang berupa satu ekor kerbau merupakan anak dari kerbau-kerbau yang dipungka Raja Marsundung dengan Taripar Laut boru Hasibuan. Disinilah malapetaka itu berawal (bonsir ni parbadaan i), yang disebabkan hanya karena memperebutkan seekor kerbau saja.
Tidak ada bukti maupun petunjuk (keterangan), yang dapat menjelaskan bahwa persengketaan disebabkan oleh harta¬ harta yang lain seperti sawah atau benda tidak bergerak lainnya. Sekali lagi sumber perselisihan hanya karena seekor kerbau.
Selanjutnya karena kedua belah pihak yaitu Raja Parsuratan di satu pihak dan Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya di lain pihak, memiliki sawah masing-¬masing, kepemilikan kerbau menjadi sangat penting (untuk membajak sawah). Sulit bagi kedua belah pihak untuk memanfaatkan tenaga kerbau yang hanya seekor itu secara bergiliran. Sampai saat ini tidak jelas ceritanya apakah kerbau yang satu ekor itu secara de facto berada dalam penguasaan Raja Parsuratan atau dalam penguasaan Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya.
Akhirnya timbullah emosi (hona mara) Raja Parsuratan (konon kabarnya) yang berakibat meninggalnya putri sulung dari Sobosihon boru Sihotang. Tidak jelas kapan dan apa yang mengakibatkan putri sulung tersebut meninggal. Namun meninggalnya putri tercinta inilah yang menjadi sebab dari pertikaian/perselisihan antara Raja Parsuratan (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Jolo) dengan Raja Mardaup-Raja Sitombuk-Raja Hutabulu (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Pudi) yang berlangsung hingga saat ini. Perselisihan ini sebenamya sudah pernah dicoba untuk diselesaikan oleh saudara-saudara Raja Marsundung yaitu Siahaan dan Hutagaol, bahkan oleh keturunan Si Bagot Ni Pohan. Namun sampai saat ini belum terjadi penyelesaian.
Menurut pendapat Penulis, peristiwa meninggalnya putri sulung itu sengaja didramatisir oleh orang-orang tertentu yang ingin membuat perpecahan di antara turunan Raja Marsundung Simanjuntak hingga dewasa ini. Bahkan cerita tersebut sudah meluas karena dengan sengaja, cerita mengenai kematian putri sulung tersebut disebarkan ke marga-marga lain yaitu kepada marga-marga yang mempunyai kaitan perkawinan dengan marga Simanjuntak, terutama pihak boru.
Demikianlah salah satu contoh yang menunjukkan betapa tingginya kadar konflik pada orang Batak. Konflik yang disebabkan oleh faktor kultur yaitu konflik hubungan sosial (social conflict), ditambah lagi dengan ketidakcocokan diantara para pemimpin non-formal, diantara kedua belah pihak.
Konflik diantara marga Simanjuntak semakin memanas setelah adanya perbedaan kepentingan pada masa Orde Lama, yaitu pada tahun 1963. Pada waktu itu dilakukan pembuatan tugu Sobosihon boru Sihotang di Balige yang tujuannya adalah untuk kepentingan golongan tertentu yang ingin mengumpulkan massa. Pihak ini menggalang solidaritas di antara turunan dari nenek moyang Sobosihon boru Sihotang yang jumlahnya cukup banyak. Marga Simanjuntak adalah salah satu marga terbesar dikalangan suku batak hingga terkenal istilah Simanjuntak na solot di ri (Simanjuntak Ri) yang artinya dimana ada rumput (ri), disitu ada Simanjuntak. Pendirian tugu ini dilaksanakan oleh tokoh-tokoh dari turunan Raja Mardaup, Raja Sitombuk, dan Raja Hutabulu di bawah pimpinan Alm. Drs. Parlagutan Simanjuntak, yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Tapanuli Utara. Pendirian tunggu ini tidak mengikutsertakan atau mengundang turunan Raja Parsuratan. Tidak lama sesudah peresmian tugu, terjadi pemilihan Bupati Kepala daerah Tk II Tapanuli Utara dan pada saat itu Drs. Parlagutan Simanjuntak yang juga menjadi calon bupati secara tiba-tiba meninggal dunia. Oleh karena Drs. Parlagutan Parlagutan Simanjuntak meninggal dunia maka calon Bupati lainnya yaitu Kolonel Sinaga terpilih menjadi Bupati. Setelah tugu Sobo Sihon boru Sihotang didirikan, maka sejak itulah terbentuk perkumpulan Simanjuntak Sitolu Sada Ina.
Pada tahun 1968 telah dibentuk pula perkumpulan persatuan Raja Marsundung Simanjuntak yang anggotanya terdiri dari turunan dari Raja Marsundung Simanjuntak yang lengkap, yaitu Parsuratan, Mardaup, Sitombuk, dan Hutabulu. Perkumpulan persatuan Raja Marsundung Simanjuntak merupakan suatu perkumpulan yang menyatukan seluruh keturunan dari Raja Marsundung Simanjuntak baik keturunan dari istri pertamanya, Taripar Laut boru Hasibuan, maupun dari istri keduanya, Sobosihon boru Sihotang.
Banyak lagi perselisihan-perselisihan di antara orang Batak yang membuat pergaulan sehari-hari menjadi tidak harmonis, antara lain marga Silalahi dengan marga Sihaloho, marga Panggabean dengan Marga Hutabarat, juga perselisihan di antara turunan Si Raja Lontung. Tetapi perselisihan tersebut tidak separah perselisihan diantara keturunan Raja Marsundung Simanjuntak.
Sebenarnya, jika teliti lebih jauh, semua masalah yang menjadi penyebab timbulnya konflik tersebut relative sepele (tidaklah prinsipil), namun akibatnya jelas terasa di dalam upacara-upacara adat Batak. Persoalan marga-marga ini sepertinya susah/sulit diselesaikan. Kurang harmonisnya pergaulan di kalangan orang Batak dapat mengakibatkan tidak optimalnya Dalihan Na Tolu. Oleh karena itu, pada jaman reformasi dan era globalisasi ini, perlu disosialisasikan paradigma baru Dalihan Na Tolu dengan melaksanakan prinsip sinergi dan prinsip win-win solution untuk mengefektifkan Dalihan Na Tolu membawa orang Batak menuju kesatuan dan persatuan.
Untuk menyelesaikan konflik/perselisihan perlu diaktifkan peranan Dalihan Na Tolu seperti misalnya musyawarah mufakat, runggun partukkoan (dialog, kompromi, rekonsiliasi) atau membuat Padan atau Janji, dengan berpegang pada prinsip win-win solution. Peranan Gereja juga penting untuk memfasilitasi usaha rekonsiliasi diantara marga-marga yang masih ada perselisihan diantara sesamanya.